Kamis, 24 Mei 2012

Korupsi Terhadap Hukum Ekonomi


KORUPSI

Korupsi (bahasa Latincorruptio dari kata kerjacorrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
§  perbuatan melawan hukum;
§  penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
§  memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
§  merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya:
§  memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
§  penggelapan dalam jabatan;
§  pemerasan dalam jabatan;
§  ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
§  menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuridimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas|kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.

HUKUM YANG MENGATUR

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa ketentuan Pasal 36 Undang-undang (UU) Pemerintah Daerah (Pemda) yang mensyaratkan adanya izin presiden untuk penyelidikan atau penyidikan tindak pidana korupsi terhadap kepala daerah atau wakil kepala daerah justru kontra produktif terhadap pemberantasan korupsi.   


Hal ini diungkapkan Ketua KPK Abraham Samad, dalam jawaban tertulisnya sebagai pihak terkait dalam pengujian Pasal 36 UU Pemda di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Rabu. Pasal 36 ayat (1) UU Pemda berbunyi: "Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari presiden atas permintaan penyidik".
   
Ayat (2): "Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan".
   
Ayat (3): "Tindakan penyidikan  yang  dilanjutkan  dengan penahanan diperlukan persetujuan tertulis sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)".
   
Ayat (4): "Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang  diancam dengan pidana mati, atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara".
   
Ayat (5): " Tindakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setelah dilakukan wajib dilaporkan kepada Presiden paling lambat dalam waktu dua kali 24 jam".
   
Menurut Abraham, KPK dalam menjalankan tugasnya melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi tidak diperlukan ijin maupun prosedur khusus bagi pemeriksaan terhadap kepala daerah atau wakil kepala daerah. "Tidak diperlukan ijin atau prosedur khusus bagi pemeriksaan kepala daerah atau wakil kepala daerah agar penanganan pemberantasan korupsi efektif dan optimal sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 46 UU nomor 30 tahun 2002," kata Abraham.
   
Untuk diketahui, pengujian UU Pemda ini dimohonkan sejumlah aktivis anti korupsi yaitu Indonesia Corruption Watch (ICW), Feri Amsari (Dosen FH Andalas), Teten Masduki (Sekjen TII), dan Zainal Arifin Mochtar (Direktur Pukat UGM).
   
Para pemohon meminta MK membatalkan/menghapus Pasal 36 UU Pemda yang mengatur prosedur pemeriksaan ijin kepala daerah yang terlibat kasus hukum oleh presiden itu karena bertentangan dengan Pasal 24 (1), 27 ayat (1), 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Pemohon menilai Pasal 36 UU Pemda itu bertentangan dengan prinsip peradilan yang independen, equality before the law, nondiskriminasi,
dan peradilan cepat.
   
Dalam beberapa kasus, khususnya penuntasan kasus-kasus korupsi menjadi terhambat (justice delay) yang berpotensi merugikan hak konstitusional para pemohon yang concern terhadap pemberantasan korupsi. Pemohon menilai Pasal 36 UU Pemda bertentangan dengan prinsip peradilan yang independen, equality before the law, nondiskriminasi, dan peradilan cepat. Dalam beberapa kasus, khususnya penuntasan kasus-kasus korupsi menjadi terhambat (justice delay) yang berpotensi merugikan hak konstitusional para pemohon yang peduli terhadap pemberantasan korupsi.  

Menurut pemohon, tak ada perbedaan antara pencuri ayam dan kepala daerah yang diduga mencuri uang negara sebab ketika pelaku maling ayam tak perlu ada izin tertulis, tetapi kenapa kepala daerah maling uang negara harus ijin presiden.

DAMPAK
TERHADAP EKONOMI
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri. (Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, di luar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan.

KESEJAHTERAAN UMUM NEGARA
Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaanpemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus "pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.

Diposting Oleh :
Ari Ariandi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar